KRITIK
IBNU MADHA’ TERHADAP PARA AHLI NAHWU
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Ushul Nahwu
Dosen Pembimbing :
Prof.
Dr. H.Tamim Mulloh, S.S, M. Pd
Disusun oleh :
1. Maftuhah (12310094)
2. Ulwiyatul Mungarofah
(12310095)
3. Auliya Hasanah (12310090)
BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA
UIN MALIKI MALANG
2014
Alhamdulillah
segala puji bagi Allah yang telah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua
sehingga masih diberi kesehatan, kenikmatan iman dan islam serta dalam
lindungan-Nya. Sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada baginda Nabi
Muhammad saw, yang patut menjadi suri tauladan bagi umat muslim seluruh dunia
serta ditunggu syafaatnya kelak di akhirat.
Dalam
untaian kata pengantar ini kami yang diberi tugas pada mata kuliah Ushul Nahwu
ingin mengutarakan bahwa kami telah berusaha dalam penyusunan makalah ini. Dan
kami sadar masih banyak kekurangan di sana sini, mengutip pribahasa “Tak ada
gading yang tak retak”. Alhamdulillah Makalah yang berjudul “kritik Ibnu Madho
Terhadap Para Ahli Nahwu” ini telah selesai tepat waktu,besar harapan kami isi
dari makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca. Bukan hanya demi menunaikan
kewajiban tugas yang diberikan dosen.
Dan
tak lupa kami mengucapkan terimakasaih kepada dosen pengampu mata kuliah Ushul
Nahwu ustdz Tamim Mulloh, S.S, M.Pd yang
telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. Yang selalu memberi masukan
dan saran dalam pembuatan makalah teman-teman sebelumya demi meningkatkan dan
memperbaiki mutu dan kualitas makalah dalam mata kuliah Ushul Nahwu ini.
Sehingga harapan kami makalah ini bisa jadi lebih baik dari sebelumnya.
Terakhir
kami meminta maaf atas kesalahan yang ada dalam pembuatan makalah yang sangat
sederhana ini, sehingga kami berharap kritik maupun saran yang membangun guna
perbaikan untuk selanjutnya, tetapi saya
berharap manfaat adanya bagi teman-teman dan khususnya bagi para pembaca
makalah ini. Amin.
Malang, 27 Mei
2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG .............................................................................................................i
B.
RUMUSAN MASALAH
........................................................................................................i
C.
TUJUAN
PEMBAHASAN......................................................................................................i
BAB II PEMBAHASAN
A.
Biografi dan
karyanya
.........................................................................................................1
B.
Perjalan Akademik...............................................................................................................1
C.
Latar Belakang
Kajian Nahwu Ibnu
Madha’.......................................................................1
D.
Ideologi Fiqih
Ibnu Madha’ Ilmu
Nahwu............................................................................3
E.
Kitab-kitab
Karangan Ibnu Madha’
....................................................................................5
F.
Kritik Ibnu
Madha’..............................................................................................................6
G.
Tawaran
Restrukturisasi Ilmu
Nahwu................................................................................14
BAB III PENUTUP
1.
Kesimpulan ..............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
ilmu nahwu juga terdapat beberapa aliran (mazhab). Ada aliran Kufah,
Bashrah, Baghdad, Mesir dan Andalus. Diantara keempat aliran ini, hanya dua
aliran saja yaitu Kufa dan Bashrah yang menjadi aliran mayoritas, meski
masing-masing memiliki metode dan cara berpikir atau apa yang disebut dengan ushul
al-nahwi. Yakni, prinsip-prinsip yang mendasari cara kerja ilmu nahwu dan
cabang-cabang yang terkait dengannya. Prinsip yang dimaksud adalah qiyas,
ta’lil, ta’wil dan amil. Perbedaan pandangan mengenai
prinsip-prinsip ini pada giliran selanjutnya berdampak pada perbedaan pemahaman
dan pandangan dalam kaidah bahasa Arab di satu sisi dan perbedaan dalam
memahami teks agama di sisi lain.
Kemudian
pada abad pertengahan muncullah konsep pembaharuan ilmu nahwu yang dipelopori
oleh Ibnu Madha’. Ia memiliki pemikiran yang kontovesional tentang ilmu nahwu,
yang sangat menentang keras pendapat para ulama’ nahwu mutaakhirin terutama
mengenai prinsip-prinsip dalam ilmu nahwu seperti qiyas, ta’lil, takwil maupun
‘amil. Dan kemudian menciptakan suatu konsep baru yang bertujuan untuk menghilangkan hal-hal
fudhul(kelebihan) dalam ilmu nahwu, dan mengajak kepada konsep ilmu nahwu yang
lebih sederhana, ringkas serta mudah difahami bagi para pembelajar.
Dalam makalah ini, pemakalah akan menjelaskan tentang Ibnu
Madha’ beserta metode dan ijtihadnya. Yang mencakup tentang biografi,
karya-karyanya beserta pemikiran-pemikirannya.
a.
Siapakah Ibnu Madha’?
b. Bagaimana konsep nahwu menurut Ibnu Madha’?
a.
Untuk mengetahui biografi Ibnu Madha’
b.
Untuk mengetahui konsep nahwu menurut Ibnu
Madha’
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Madha’dan karyanya
Nama lengkap
Ibnu Madha’ adalah Ahmad bin Abdul Rahman bin Muhammad bin Said bin Haris bin
Asim Ibnu Madha’, Dia dijuluki Abu Abbas, Abu al-Qasim, dan Abu Ja’far. Akan
tetapi, ia lebih dikenal dengan julukan Ibnu Madha’.Dia lahir di Cordova pada tahun 512 M dan
meninggal pada tahun 592 M di Isybiliyah. Selain seorang pakar Nahwu, dia juga
ahli fiqih dan pernah menjabat menjadi hakim.
Dalam bidang
keilmuan, pada abad ke 6 H, ia telah menulis 3 buku yang sangat monumental
walaupun pernah terhenti dan muncul kembali pada abad 14 H / 20 M. Tiga buku
itu adalah:
. ( 1الرد على النحاة
.( 2المشرق في النحو
.( 3. تنزيه القرآن عما لايليق بالبيان
B.
Perjalanan
Akademiknya
Walaupun Ibnu
Madha’ dikenal sebagai pembaharu dalam kajian epistemology Ilmu Nahwu, namun
hal tersebut tidak membuatnya melupakan dan menafikan ilmu-ilmu yang lain.
Selain mempelajari ilmu Nahwu, beliau juga belajar ilmu Fiqih dan ilmu yang
berkenaan dengan tata bahasa Arab. Untuk bidang ilmu Fiqih, dia sempat belajar
kepada ibnu al-Araby, Bathrujiy, Rosyaathy, dan Abu Muhamad ibn al-Munasif.
C.
Latar Belakang
Kajian Ilmu Nahwu Ibn Madha’
Aliran Basroh
dengan panglima besarnya imam Sibawaih,telah mengantarkan ilmu Nahwu pada
perkembangan yang luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan berkiblatnya para pakar
Nahwu padanya. Kitabnya yang sering disebut Alkitab padahal Sibawaih belum
sempat memberinya judul dan tak seorang pun yang tahu kapan penyusunannya.
Kitab yang
dikarang Sibawaih ini merupakan karya monumental karena pada abad ke 2 di mana
Dunia dan Islam pada masa terpuruk, tetapi Sibawaih telah memamerkan kitabnya
yang terdiri dari 820 bab. Tidak hanya di daerah Basroh saja, akan tetapi
konsep Nahwu yang digagas oleh Imam Sibawaih juga menyebar hingga ke Mesir dan
Andalusia, sehingga hampir semua ahli Nahwu dari ke 2 negara itu terpacu kepada
Imam Sibawaih.
Sibawaih banyak
mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki guru besarnya yaitu Abu ‘Abd
ar-Rahman Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi (100-175
H) penggagas ilmu nahwu.[4] yang dalam sejarahnya, dikalahkan oleh
Sibawaih. Khalil adalah perintis Sintaksis Bahasa Arab yang konsep-konsep
Nahwunya banyak diterapkan oleh Sibawaih dalam kitabnya.
Al-Khalil
adalah orang yang membuat istilah-istilah Nahwu seperti mubtada’, khabar, maf’ul
bih, fa’il, hal, tamyiz, dan lain sebagainya. Dia juga yang mengistilahkan rafa’,
nashab, dan khafd, serta jazm pada I’rab kalimah, dan
mengistilahkan harakat mabni dengan dhamah, fathah, kasrah,
dan waqaf (sukun).
Dia sangat
menguasai logika Aristoteles. Ada dua konsepnya yang sangat dipengaruhi oleh
filsafat, yaitu konsep tentang ‘amil dan ma’mul, Ia berusaha
menguraikan fenomena-fenomena kebahasaan dengan perspektif filsafat yaitu
pemikiran kausalitas (sababiyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu
yang “ada” di muka bumi ini mengharuskan “pengada”. Begitu juga dengan fenomena
perubahan akhir kata atau i’rab, mengharuskan ada sesuatu “yang menyebabkan”
hal itu terjadi. Maka Khalil menamakan penyebab itu dengan ‘amil.
Dia juga
menggagas dasar epistemologi Nahwu yang meliputi sima’, qiyas dan ta’lil dan
menghadirkan istilah ta’wil dan pengecualian jika terdapat contoh ucapan yang
bertentangan dengan kaidah yang dia tetapkan. Misalnya, Dia menetapkan bahwa
hal harus dibentuk dari isim nakirah.dan ketika muncul hal berupa isim ma’rifat
dia melakukan ta’wil atau pengalihan asumsi dari yang tampak.
Namun pada abad
ke-6 M. Munculah seorang pakar Nahwu yaitu Ibnu Mada yang menggoyahkan mazhab
itu dan dia menyusun konsep Nahwu yang lebih praktis dengan menghapus beberapa
bagian bab dan teori yang dikira arelevansi dengan Nahwu yang
mempersulit pelajar untuk mempelajari ilmu Nahwu dan mengembalikan Nahwu pada
pondasi awalnya dengan maksud mempermudah dan memperingkas agar mudah dipahami.
Dia mengungkap bahwa konsep Nahwu yang sudah tersebar dan tertumpu pada Imam
Sibawaih telah memperumit kajian Nahwu sehingga ia membuat konsep baru yang
merobohkan pondasi Imam Sibawaih lewat 3 bukunya yang sudah dipaparkan.
Dia adalah
ilmuan Bani Abasiyah dari dinasti Muwahidun yang dipelipori oleh Ibnu Tumart.
Dan kenyataannya, sejak pertama berdiri, dinasti tersebut telah mengobarkan
revolusi. Maka apabila kita melihat Yusuf membakar kitab madzhab-madzhab yang
empat, artinya ia ingin mengembalikan fiqih Masyriq kepada tempat asalnya. Maka
begitupun Ibnu Mada. Begitulah tutur Dhaif tentang kajian Nahu menurut Ibnu
Madha dalam karangannya yang mentahqiq kitab karya Ibnu Mada’.
D.
Ideologi fiqh Ibnu Madha’ Ilmu Nahwu
ideologi
dalam arti netral, yaitu keseluruhansistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap
dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Disebut dalam arti netral
karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.Ideologi dalam
arti netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi atau aliran al
Dhohiri suatu madzhab fiqih yang dianut oleh Ibnu Madha. Yang
dimaksud aliran aldhohiri adalah aliran yang menolak cabang-cabang
pemikiran dari suatu persoalan (furu’) dan lebih mengedepankan sumber
hukum ushul (al Quran dan Hadits) dan hanya menerapkan aspek tersurat (dhahir)
dalam al Quran dan al Hadits sebagai sumber hukum dan menolak segala macam ta’wil.
Madzhab
menurut bahasa ialah maslak, thariqah dan sabil. Sedangkan
menurut istilah ialah pendapat yang diambil oleh seorang imam dan para imam
dalam masalah yang terkait dengan hukum-hukum ijtihadiyah.Berbagai aliran
fiqih nyatanya mampu memberi corak baru dalam kajian nahwu di Andalusia, namun
diantara aliran fiqih tersebut, aliran fiqih al Dhohiri mendapat
perhatian besar dari kalangan fuqoha dan lughowiyyin serta miliki
pengaruh yang sangat besar dalam kajian nahwu di Andalusia.
Aliran
fiqih al Dhohiri menolak ta’wildan hanya bersumber pada teks
tersurat dalam al Quran sebagai dalil penetapan hukum. Di antara ahli fiqih
yang menganut aliran alDhohiri adalah Ibnu Hazm yang tertuang dalam
bukunya al Ihkam fiushul al Ahkam. Satu setengah
abad kemudian, Ibnu Madha berhasil mengadaptasikan madzhab fiqih al Dhahiri dalam
kajian nahwu melalui karya monemental berjudul al Rad ala al Nuhat.
Sebagai bentuk gugatan Ibnu Madha terhadap pandangan-pandangannya nahwu yang
dikembangkan para pendahulunya. Sejarah menunjukkan bahwa nahwu sebelum masa
Ibnu Madha diklaim telah terpengaruh oleh filsafat Yunani. Menarik dicatat
mengenai awal keterpengaruhan nahwu terhadap filsafat Yunani. Menurut Abd al
Karim Muhammad al As’ad nahwu mulai bersentuhan dengan filsafat Yunani ditandai
dengan sosok ‘Abdullah bin Abi Ishaq al Hadrami (w. 117 H), orang pertama yang
dianggap meletakkan dasar-dasar konsepsional nahwu dan mengembangkan pemikiran
mengenai illat dalam kajian nahwu. Sejak saat itulah, nahwu mulai
berkembang dalam nuansa filosofis. Pemikiran tersebut selanjutnya dilanjutkan
oleh Khalil bin Ahmad al Farahidi (w. 175 H), seorang tokoh besar madrasah Basrah.
Khalil dipandang sebagai jembatan pembuka masuknya pengaruh filsafat Yunani
dalam kajian nahwu. Akibat dari
keterpengaruhan tersebut, para ahli nahwu memahami tiap kata dalam suatu
kalimat sebagai faktor dari ‘amil yang implikasinya terlihat pada persoalan
i’rab mahalli dan taqdiri. Dengan teori ini, perubahan bunyi
akhir suatu kata dalam kalimat mengalami pergeseran dari i’rab rafa’, nasab
jarr dan jazm. Spekulasi ‘amil yang mempengaruhii’rab suatu
kata kerap kali menjadi perdebatan di antara ulama’ nahwu berikut narasi
filosofis yang menyertainya seperti permasalahan ‘amil dalam maf’ul
bih. Menurut Basrah fi’il yang menjadi ‘amilbagi fa’il dan
maf’ul bih, sedangkan mayoritas ulama’ Kufah berpendapat bahwa fi’il dan
fa’il merupakan amil bagi maf’ul bih, namun sebagian kecil
ulama Kufah berpendapat bahwa hanya fa’il yang menjadi ‘amilbagi maf’ul. Hal ini yang
mendorong Ibnu Madha untuk mengkritik dan menggugat nahwu yang telah lebih
dahulu mapan untuk diarahkan kepada tujuan praktis yaitu guna memfasilitasi
para peserta didik bahasa Arab agar dapat membaca dan berkomunikasi dalam
bahasa Arab secara baik dan benar sesuai kaidah yang ada. Menarik dicermati
bahwa Ibnu Madha menggugat nahwu dengan menggunakan dasar pemikiran aliran
fiqih dhahiri. Berdasarkan dengan metode penalaran dalam aliran dhahiri
bahwa metode pengambilan hukum berpegang pada lahiriah teks, maka kaidah nahwu
seharusnya sesuai teks yang ada atau yang biasa dipakai orang Arab dan bukan
nuansa gramatika bahasa Arab yang sarat dengan muatan filsafat. Melalui bukunya
ar Rad ala al Nuhat, Ibnu Madha menyatakan: “Tujuan saya dalam buku ini
adalah menghapuskan apa yang tidak diperlukan oleh ahli nahwu, dan saya
tegaskan bahwa mereka telah bersepakat dalam kesalahan”. Adapun
gugatan-gugatan Ibnu Madha tentang nahwu yang tertuang dalam bukunya arRad
ala al Nuhat sebagai bentuk kritiknya terhadap nahwu yang dikembangkan para
pendahulunya adalah penghapusan (1) teori ‘amil, (2) ’illat kedua
dan ketiga, (3) penggunaan qiyas dalam nahwu, dan (4) latihan (tamarin)
nahwu yang tidak praktis karena menyebabkan nahwu menjadi rumit dan sulit
dipelajari.
Dalam
hal ini, Syauqi Dhaif menyatakan bahwa pengaruh fiqih al Dhahiri jelas
telihat dalam buku al Rad ala al Nuhat sebagai wujud penolakan Ibnu
Madha terhadap para ahli nahwu masyriq (Bashrah dan Kufah) yang terlalu
filosofis sehingga terkesan tidak realistis dan sulit difahami. Selain ar
Rad ala al Nuhat, Ibnu Madha juga menulis buku al Masyriq fi al Nahwi,
Tanziyah al Quran dan ‘AmmaLa Yaliqu bi al Bayan. Diperkirakan
bahwa al Masyriq fi al Nahwi berisi tentang pencerahan nahwu dari
berbagai kerumitan dan perdebatan yang signifikan. Sayangnya, dua karya
terakhir hingga sekarang tidak ditemukan, sehingga formulasi konkret
pembaharuan nahwunya tidak dapat dikaji lebih mendalam.
E. Kitab-kitab
karangan Ibnu Madha’
1. Kitab Ar-Radd ala an-Nuhat
Kitab
ini berisi tentang metode berfikir dan ijtihad Ibnu Madha’ dalam ilmu nahwu. Buku ini pertama kali ditemukan dalam bentuk
manuskrip di Perpustakaan Taimur nomor 375, yang kemudian diedit oleh Dr.
Syauqi Dhoif. Sekarang, karya Ibnu Madha’ yang satu ini telah dipublikasikan
dan dapat dibaca secara luas.
2. Kitab Masyriq ‘ala An Nahwi
Merupakan kitab kelanjutan dari kitab pertamanya Ar-Radd
ala an-Nuhat. Yaitu, berisi tentang bantahan Ibnu Madha’
terhadap teori-teori para ahli nahwu di wilayah Islam wilayah Timur. Buku
ini dalam beberapa literatur sejarah juga disebut dengan al-Masyriq fi
Ishlah al-Manthiq. Dan buku ini tidak pernah sampai kepada generasi
kita.
3. Kitab Tanzih
al-Qur’an amma la Yaliqu bi al-Bayan
Kitab
ini tidak diketahui isinya secara
pasti. Bisa jadi, ia berisi tentang fiqh atau mengenai ilmu bahasa Arab. Hal
ini karena buku tersebut tidak sampai ke tangan generasi setelah Ibnu Madha’.
Jika melihat judul bukunya, penulis menduga buku tersebut berisi seputar
pemahaman Ibnu Madha’ mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang terkait istidlal
dan istimbath hukum-hukum. Ia dapat dipastikan, melalui buku ini,
menepis model pemahaman dan pemaknaan terhadap ayat yang semestinya tidak perlu
atau bahkan tidak ada dalam teks (nash) secara lahiriyah. Hal ini karena
Ibnu Madha’ menganut mazhab Zhahiriyah yang hanya mengakui makna luar teks.
Qiyas ialah usaha untuk membawa sesuatu (menyamakan) yang
belum berlaku kepada hukum yang sudah ada.
Sedangkan qiyas menurut Ibnu Anbari qiyas
dalam kitabnya Lam’u al-Adillah yakni membawa perkara cabang pada perkara asal
dalam illatnya, dan memberlakukan hukum asal pada hukum cabang.
Pendapat Ibnu madha’ tentang qiyas ialah
adanya qiyas itu harus berkaitan dengan adanya teks. Maka ia menerima dan
membenarkan adanya prinsip qiyas selama ada bukti teks, dan menolaknya jika
tidak ada bukti teks yang menguatkannya.
Ibnu Madha’ menolak terhadap adanya prinsip qiyas dalam
ilmu nahwu, ia tidak sepakat dengan pendapat para ulama’ nahwu atas orang arab.
Dengan jelas Ibnu Madha’ mengatakan:
“Orang Arab adalah umat yang cerdas. Bagaimana mungkin mereka
menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, dan menyamakan hukum sesuatu itu
pada sesuatu yang lain, sementara sebab hukum asal tidak ditemukan dalam
cabang? Jika di antara para nuhat ada yang melakukan seperti itu, berarti ia
bodoh dan tidak bisa diterima. Mengapa mereka menisbatkan sesuatu yang tidak
diketahui oleh sebagian mereka kepada orang Arab? Ini semua karena mereka tidak
meng-qiyas-kan sesuatu dan memberlakukan hukumnya kecuali apabila sebab
hukum asal ditemukan pada cabang”.
Penolak para pengikut madzhab dzahiriyah terhadap qiyas, sebab
pada hakikatnya qiyas itu terdiri dari ashl, far’i(cabang), illat serta hukum.
Jadi memberlakukan adanya illat didalamnya. Seperti halnya kemu’roban fiil
mudhore’ itu diqiyaskan dengan kemu’roban isim. Yang mana isim itu ashl,
sedangkan fiil itu far’i. Dan fiil itu diqiyaskan dengan isim karena memiliki 2
‘illat. Illat pertama dari segi keumumannya, kemudian dapat dikhususkan.
Seperti halnya lafadz رجل (umum/tidak ditentukan) kemudian dikhususkan
menjadi الرجل, begitu pula
fiil mudhore' pada lafadz يذهب bermakna umum yakni pekerjaan yang dilakukan
sekarang ataupun masa yang akan datang, kemudian dikhususkan menjadi سوف يذهب maka fiil mudhore’ yang menunjukkan zaman yang
akan datang. Illat kedua bahwa lam ibtida’ itu bisa masuk pada kalimat fiil sebagaimana
bisa masuk juga pada kalimat isim. Seperti contoh:
إن زيدا ليقوم danلقائمإن زيد
Jadi
kedua ‘illat ini diberlakukan pada fiil mudhore’ yang dihukumi mu’rob sebagaimana
hukum isim. Dan pengqiyasan seperti ini ditolak oleh Ibnu Madha’.
Secara etimologi, ta’wil berarti
merenungkan, mengira-ngira dan menafsirkan. Sedangkan secara terminologi, ta’wil
berarti menggeser zhahirnya teks (lafazh) dari posisinya yang otentik menuju
bukti (makna) yang dibutuhkan seolah-oleh makna itu meninggalkan zhahir dari
teks. Atau dengan kata lain, ta’wil adalah menafsirkan ucapan yang
maknanya berbeda-beda dengan memberikan penjelasan yang diambil dari luar teks.
a.
Pembuangan(al hadzf)
Seperti
contoh: والله لافعلت و أصله :
أقسم بالله
Seperti
contoh: وأوتيت من كلّ شيء – أي:
شيئا
b.
Penyimpanan(istitar)
c.
Sighot masdar
Seperti:
صيامكم خير لكمditakwil وأن تصوموا خير لكم
Ada
dua point penting terkait dengan mudhmar dan mahzhuf, yang
harus dicermati secara kritis. Pertama, yang mudhmar berarti
sesuatu yang harus dipenuhi, sementara yang mahzhuf berarti sesuatu yang
tidak diperlukan. Kedua, yang mudhmar adalah isim, sementara yang
mahzhuf adalah fi’il. Hazhaf (pembuangan) hanya terjadi pada
fi’il dan jumlah, dan tidak berlaku pada isim. Kedua point itu tidak
memberikan garis pembedaan yang jelas dan cermat. Bahkan cenderung
kontradikstif dan ambigu. Menurut Ibnu Madha’, satu-satunya yang dapat
membedakan kedua hal itu tidak lain dikembalikan kepada si penutur (mutakallim)
bahasa itu sendiri.
Ibnu Madha’ berpendapat, ada tiga jenis mahzhufat.
Yaitu, pertama kata dibuang karena lawan bicara (orang kedua)
diindikasikan telah mengetahui. Misalnya, ketika dikatakan zaidan yang
berarti a’thi zaidan. Hal ini terjadi karena lawan bicara dianggap telah
mengetahui ”perintah untuk memberi sesuatu” kepada si Zaid, sehingga cukup
dikatakan zaidan. Kedua, kata itu dibuang karena memang tidak
dibutuhkan dan bahkan jika masih tetap ditampakkan maka akan merusak ucapan,
seperti azaidan dharabtahu. Ketiga, kata itu dibuang karena jika
tetap ditampakkan maka disinyalir dapat merubah ucapan, seperti ya abdallah.
Jika ucapan ini ditampakkan menjadi ad’u abdallah maka strukturnya
menjadi berubah. Yaitu, dari bentuk nida’ (panggilan) menjadi bentuk khabariyah
(berita).
Atas
dasar itu, Ibnu Madha’ hanya menerima konsep mahzhuf (pembuangan)
manakala pembuangan tersebut telah diketahui oleh lawan bicara (mukhathab).
Sejauh lawan bicara (mukhathab) mengerti atau mengetahui hazhaf
(pembuangan) kata/kalimat yang dikehendaki oleh si mutakallim (penutur),
maka sejauh itu boleh dilakukan pembuangan (hazhaf). Tetapi jika tidak
mengetahui, maka tidak diperbolehkan si mutakallim (penutur)melakukan
pembuangan. Karena, hanya akan membawa teks kepada ke-aib-an dan perubahan
makna.
Penolakan
Ibnu Madha’ terhadap fenomena ta’wil dalam nahwu juga tercermin dari
sikapnya terhadap konsep istitar/idhmar (penyembunyian). Di sini,
dapat dikemukakan contoh: زيد ضارب عمرا . Para nuhat
biasanya menganggap bahwa di dalam contoh tersebut ada dhamir (kata
ganti) yang disembunyikan, tepatnya pada kata dharibun. Kata dharib
menunjukkan arti sebagai pelaku (fa’il) yang tidak terang-terangan,
sementara kata zaid adalah nama dari si pelaku tersebut. Anggapan
seperti ini adalah salah dan tidak dapat diterima oleh akal manusia. Munculnya
pikiran seperti itu dikarenakan para nuhat telah keliru dalam memahami dalalah
fi’il atas dalalah fa’il: antara dalalah lafzhiyah dan dalalah
luzumiyah, sehingga mereka meyakini bahwa di dalam fi’il (kata kerja) pasti
tersimpan fa’il (pelaku).
Dalam
pendapatnya Ibnu Madha’ membandingkan masalah-masalah fiqih dengan
masalah-masalah nahwu. Dikatakan bahwa nahwu itu tidak butuh terhadap adanya
illatberdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh teks, sebagaimana fiqih tidak
butuh adanya illat berdasarkan apa yang telah diharamkan oleh teks.
Dan hal yang
harus dihilangkan dalam Ilmu Nahwu ialah adanya Illat tsawani dan tsawalits,
seperti halnya contoh pertanyaan seseorang tentang lafadz زيد dalam ucapanقام زيد mengapa lafadz zaid itu dibaca rofa’? kemudian
dijawab: karena zaid berkedudukan sebagai fa’il. Dan setiap fail itu dibaca
rofa’. Kemudian bertanya lagi. Ketika Ibnu Madha’ ditanya mengapa kata zaid dalam
jumlah qama zaidun harus dibaca rafa’, ia menjawab: karena kata itu
berkedudukan menjadi fa’il dan fa’il itu harus dibaca rafa’.
Inilah yang disebut dengan alasan pertama (illah ula). Jika kemudian
ditanya lagi kenapa fa’il itu harus dibaca rafa’, maka menurut Ibnu
Madha’ pertanyaan itu tidak patut dijawab. Jawaban yang pas tidak lain adalah
karena begitulah orang Arab mengatakan. Pandangan seperti ini tentunya jauh
berbeda dengan pandangan mayoritas nuhat. Jika pertanyaan serupa diajukan
kepada nuhat yang lain, maka mereka pasti memberikan jawaban: kata zaid
dibaca rafa’ karena fa’il dan fa’il itu harus rafa’ (illah ula); kenapa harus
rafa’? karena untuk membedakan antara fa’il dengan maf’ul (illah tsaniyah);
kenapa fa’il tidak dibaca nashab saja dan maf’ul dirafakan? Karena fa’il itu
sedikit, sedangkan maf’ul itu bisa banyak (illah tsalitsah).
Menurutnya
tidak ada bedanya dengan seseorang yang mengetahui tentang diharamkannya
sesuatu berdasarkan nash. Hal ini tidak butuh pengeluaran illat untuk
memindahkan suatu hukum itu atas hukum sesuatu yang lain. Maka pertanyaan
mengapa itu diharamkan? Maka bagi seorang faqih tidak harus menjawabnya.
Bagi
Ibnu Madha’, illahtsaniyah dan seterusnya tidak diperlukan ketika
seseorang memakai bahasa Arab karena hanya menimbulkan perdebatan yang sia-sia.
Ibnu Madha’ menyatakan:
”Hal yang harus
dihilangkan dalam nahwu adalah perdebatan yang tidak patut diangkat seperti
perdebatan para nuhat mengenai illah rafaknya fa’il , nashabnya maf’ul
bih dan seluruh perdebatan mereka mengenai illah tsawani yang tidak
patut dikemukakan”.
Menurut
pendapatnya illat ula dan illat tsawani. Illah ula merupakan alasan yang dengannya seseorang dapat
memahami perkataan atau ucapan orang Arab. Illah ini dapat dikategorikan
sebagai dasar untuk menetapkan aturan main (struktur dasar) yang dipakai dalam
bahasa orang Arab. Sementara itu, illahtsawani menurut Ibnu Madha’ tidak
diperlukan.
Dan jika para ulama ahli nahwu melakukan hal seperti itu
maka mereka bodoh, dan pendapatnya tidak dapat diterima. Sehingga mereka
menganggap orang arab adalah umat yang bodoh.
Amil adalah kata yang mempengaruhi harokat
akhir kata, apakah dibaca rofa, nasab, khofad atau jazm.
Amil dalam ilmu nahwu bisa digolongkan
sebagai pilar utama. Biasanya, dikenal ada dua jenis amil, yaitu lafzhi
dan ma’nawi. Amil lafzhi berbentuk lafazh secara nyata, sedangkan
amil ma’nawi biasanya tidak berwujud lafazh dan tidak memiliki pengaruh
secara nyata terhadap keberadaan kata yang lain.
Di
samping itu, para nuhat juga memandang adanya dua jenis amil. Yaitu, amil
yang memiliki pengaruh secara nyata berupa harakat atau syakal dan atau huruf
yang terdapat di akhir kalimat. Sedangkan yang kedua adalah amil yang
kehadirannya bersifat tidak nyata karena alasan keserupaan atau kedekatan. Ibnu
Madha’ menolak jenis amil yang pertama. Menurutnya, yang paling berperan
dalam merubah maksud ucapan tidak lain adalah si penutur (mutakallim)
itu sendiri, bukan amil. Hal ini karena amil itu mengisyaratkan
adanya waktu saat melakukan sesuatu dan mestinya si amil itu
melakukannya dengan kehendak atau secara alami.
Sebagaimana
dalam kitabnya Ar-ra’dhu ‘ala an-Nuhat bahwa amil dalam ilmu nahwu itu ialah si
mutakallim sendiri. Ia hanya menerima satu amil saja, dan menolak adanya amil
lain (amil cabangan).
Amil
menurut Ibnu Jinni dan Ibnu Madha’ itu adalah si mutakallim sendiri. Mereka
tidak sependapat dengan para ulama’ ahli nahwu tentang adanya ‘amil lafdziyah
dan ‘amil maknawiyah.
Ibnu Madha’ berkata: “bahwa suatu lafadz dirofa’kan dan
dinashobkan si mutakallim, karena sebagaimana mengikuti ucapan orang arab”.
Jadi mutakallim ialah orang yang merofa’kan dan menashobkan. Dan pendapat ini
didasarikan pada kalam orang arab. Dan mutakallim melakukan hal seperti itu
karena mengikuti sebagaimana yang dilakukan oleh orang arab dan kebiasaan
mereka dalam mengucapkannya. Maka jika isim itu dibaca rofa’ atau dibaca
nashob, memang beginilah ucapan si mutakallim, dan beginilah pula kalam orang
arab.
Adapun tujuan Ibnu Madha’ dalam pendapat ini ialah “untuk
menghilangkan sesuatu yang menyulitkan dalam pembelajaran ilmu nahwu dan
sesuatu yang tidak perlu untuk dibahas”. Beliau menolak pendapat terhadap amil,
yakni baik berupa mail lafdziyah maupun amil maknawiyah, dan baik maukmulnya itu
disebutkan atau disimpan dan dibuang. Adapun amil yang dibuang itu adakalanya
karena si mukhottob sudah mengerti sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama
ahli nahwu. Seperti: من جاء؟ kemudian dijawab: زيد. Mereka
mengira-ngirakan jawaban aslinya yakni: جاء زيد.
Ibnu Madha’ memilih tentang penjelasan dhamir-dhamir yang
tersimpan, seperti: زيد قام
dari lafadz fiil “قام” yakni fiil madhi yang terdapat dhamir
yang disimpan didalamnya. Namun beliau mengingkari terhadap adanya dhamir dalam
lafadz”قائم” dalam contoh زيد قائم bahwa lafadz
ini tidak ada dhamir yang tersimpan, tetapi memang lafadz tersebut sudah
sempurna. Sebagaimana dalam fiil-fill mudhore’: أقوم – تقوم – نقوم. Adapun
dhamir-dhamir tasniyah dan jama’ dalam contoh: قاما – قاموا – قمن bahwa menurut Ibnu Madha’ itu bukanlah dhamir
atau fail tetapi hanyalah suatu tanda atau isyarat.
G. Tawaran
Restrukturisasi
Ilmu Nahwu
Disamping
melancarkan kritik, Ibnu Madha’ juga menawarkan model alternatif ilmu nahwu,
terutama dalam soal sistem penyusunannya sehingga ilmu nahwu menjadi mudah
dipelajari. Pentaan kembali ini diperlukan karena selama ini banyak terjadi
tumpang tindih antara bab satu dengan lain, atau kekurangatepatan dalam
menyusun bab-babnya. Misalnya saja, dalam kasusu fi’il mudhari’ yang bertemu
dengan nun taukid, yang selama ini dimasukkan ke dalam bab atau kategori fi’il
mabni ia dijadikan satu ke dalam akelompok fi’il yang manshub agar ia menjadi
satu bahasan dengan fi’il mudhari’ yang didahului oleh a-Nawashib (yang
menasabkan). Begitu pula dalam kasusu fi’il mudhari’ yang bertemu dengan nun
jama’ niswah (nun tanda plural mu’annats), mestinya dimasukkan ke dalam bahasan
fi’il mudhari’ yang mabni majzum. Menurut Ibnu Madha’, tidak ada perlunya
menyebut fi’il mudhari’ dalam kasus tersebut dengan sebutan “majzum” di satu
saat,dan sebutan “mabni” pada saat yang lain.
Dengan
cara sistematika penyusunan baru ini, menurut Ibnu Madha’ dapat mengefektifkan
dana membuang beberapa pasal atau bab dalam nahwu.semisal bab tentang “Nawâsikh
al-Mubtada’ wa al-Khabar”, sebab bab-bab tersebut dibangun atas konsep amil.
Begitu pula dalam kaitannya dengan bab “kâna”, pembahasan soal ini haruslah
disatukan dengan pembahasan fi’il lain pada umumnya. Begitu pula terkait dengan
masalah isim yang yang tidak ditanwin, pembahasan soal ini disatukan dengan
pembahasan “isim yang tidak menerima tanwin atau ghairu munsharif”. Juga dalam
pembahasan soal huruf “ la al-nafiyah”, tentan munada seharusnya pembahasannya
disatukan saja.
BAB III
PENUTUP
Ibnu madha’ ialah ahmad bin abdurrrahman bin muhammad bin madha’.Ibnu madha’
adalah pelopor gerakan liberalisasi(pembaharuan) nahwu. Dia hidup di Andalusia
yang mana kedudukannya dan kemampuannya dalam segi ilmu, sastra dan seni itu
sangat dikagumi oleh orang-orang Andalusia. Dia hidup pada masa daulah
muwahhidun yang berideologi dzahiriyah. Daulah ini sangat menolak keras
terhadap adanya hukum fiqih yang selain berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits dan
mengembalikan dan memutuskan segala hukum pada asalnya, sehingga pemikiran
dalam ilmu fiqih ini juga mempengaruhi pemikiran konsep nahwu yang dipelopori
oleh Ibnu Madha’, yang mana beliau mengembalikan dan membuang segala hal yang
telah disepakati oleh para ulama mutaakhirin dan sesuatu yang dianggap tidak
dibutuhkan dalam ilmu nahwu sehingga mempersulit para pembelajar. Beliau menciptakan
suatu konsep nahwu yang hanya didasarkan pada bukti teks atau langsung dari
ucapan orang arab (sima’i) yang lebih ringka, sederhana serta mudah difahami.
Jadi beliau menentang terhadap prinsip-prinsip ilmu nahwu sebagaimana yang
telah disepakati oleh para ulama ahli nahwu mutaakhirin seperti halnya
1 .
Meniadakan teori Qiyas
2. Menghilangkan ilat
tsawani dan tsawalist
3. Membuang teori amil.
4. Meniadakan takwil
Demikianlah
intisari dari upaya pembaharuan ilmu nahwu secara garis besar yang ditawarkan
oleh Ibnu Madaha’al-Qurthubi (dari Cordoba). Yang tentu saja masih ada beberapa
bagian yang belum tercover dalam tulisan ini, namun demikian apa yang termuat
dalam penjelasan di atas dianggap telah merepresentasikan upaya kritik dan
pembaharuan ilmu nahwu yang diinginkan oleh Ibnu Madha. Secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Dhoif, Syauqi. 1986. Taisir An Nahwi
At Ta’limy Qadiman wa Haditsan ma’a Nahji Tajdiidihi. Kairo: Dar Al-Ma’arif.
Hewitt, Martin. 1992. Welfare,
ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare state, Maryland:
Harvester Wheatsheaf.
Dhaoif, Syauqi. 1986. Tajdid An
Nahwi. Kairo: Dar Al Maarif.
Hasan, Tamam. 1990. Manahij Al
Bahs fii Al Lughoh. Kairo: Maktabah Anjalu Mesir
Mubarok, Mazan. 1981. An Nahwu Al Araby. Dar Al Fikri
Muhammad ‘id.1989. Ushul An
Nahwi AlAraby fii nadzri An Nuhat wa ra’yi Ibnu Madha’wa
dlau’i ‘ilmy Al Lughoh Al Hadits. Kairo: Ilmu Al Kutub
Ibnu Madha’, 1947. Al-Radd ’ala al-Nuhat, diedit oleh
Dr. Syauqi Dloif. Kairo: Dar al-Fikr
al-Araby.
Dhoif, Syauqi. 1968. Al Madaris An Nahwiyah. Kairo:
Darul Ma’arif
Al Yasiri, ‘Ali Muzhir . 2003. Al-Fikr
al-Nahw ‘inda al ‘Arb Usulu wa Manahijuhu. Beirut: al Dar al-Arabiyyah Li
al Maushu’at.
Sarwat, Ahmad,2011, IlmuFiqih,
Jakarta: DU Publishing.
Khalifah, Abd al Karim,
1986. TaysirBaina al Qadhimwa al Hadits. Oman: MansyuratMujmaal Lughoh
al Arabiyah al Urdiyah.
Al As’ad, Abdul Karim
Muhammad.1992. Al Wasith fi Tarikh al Nahwi al Arabi, Al Riyadh: Darl al
Syawaf.
Hewitt, Martin,Welfare,
Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State, Maryland:
Harvester Wheatsheaf,1992), Hal.1
Al Yasiri, ‘Ali Muzhir,Al-Fikr al-Nahw ‘inda al ‘Arb Usulu wa
Manahijuhu, (Beirut: al Dar al-Arabiyyah Li al Maushu’at,2003), hal387-388.
Khalifah, Abd al Karim, TaysirBaina
al Qadhimwa al Hadits. (Oman: MansyuratMujma al Lughoh al Arabiyah al
Urdiyah,1986). Hal.39
Al As’ad, Abdul Karim
Muhammad, Al Wasith fi Tarikh al Nahwial Arabi,(Al Riyadh: Darl al
Syawaf. 1992).hal 21-22.
Al Thawil, Sayyid
Razzaq.1985. Al Khilafbaina al Nahwiyin: Dirasah, Tahlil, waTaqwim,(Makkah
al Mukarramah: Maktabah al Fishliyah Al Yasiri, ‘Ali Muzhir,2003). Hal:85.