Minggu, 22 Juni 2014

SANG MUFTI

Kau Tlah Membuatku Jatuh Cinta Padanya

di suatu desa terpecil di jazirah arab yaitu turki hiduplah seorang anak dan sang ayah mereka adalah zaha dan pak jalal. kehidupan yang penuh keharmonisan didalamnya walau kehidupan mereka jauh dari kata kemewahan tapi hal itu serta merta mereka melupakan itu sang pencipta mereka tetap dalam lindungaNYA. sampai suatu ketika sang anak ingin melanjutkan sekolahnya ke daerah seberang dengan kerelaan yang mendalam sang merestuinya demi sang buah hati tercinta.dan zaha mempunyai impian terbesarnya bahwa dia ingin suatu hari nanti bisa melanjutkan study di jenjang sarjana yaitu di negeri fir'aun

Disekolah barunya zaha bertemu dengan seorang perempuan yang bernama fayyana dia asli keturunan orang indonesia yang kebetulan lage study d turki. mereka akrab satu sama lain seperti kakak adek keakraban itu tak canggung lagi karna fayyana sendiri sering memanggil zaha dengan sebutan kakak karna fayyana sendiri adalah anak tunggal dan mereka udah saling mengenal sampai suatu ketika zaha menceritakan kalau dia suatu hari nanti ingin melanjutkan study di negeri fir'aun.fayyana kaget ketika mendengar cerita zaha tersebut karna dia tak menyangka kalau zaha mengingkan impian seperti itu

karna seringnya zaha cerita tentang negeri fir'aun dan mufti disuatu universitas islam pertama didunia. tanpa disadari zaha telah mengajak untuk menyukainya dimana hal itu belum ada dalam benak fayyana sebelumnya, sampai fayyana sendiri sering bermimpi tentang sang mufti tapi dia sadar diri karna dengan kapasitas seperti itu tak mungkin bisa belajar dan mengaji pada sang mufti itu tapi dia tak langsung berputus asa dia selalu berusaha untuk bisa belajar bersama sang mufti walau hanya lewat video

Senin, 16 Juni 2014

Hiasilah Hidup Dgn Mimpi

seiring kepergian u k al-azhar menuntut ilmu dan dirimu tinggal bersama keluargamu kecuali adekmu yang gak mau ikut waktu itu setelah beberapa tahun kalian gak jumpa lalu adekmu bilang ma que klo dy kangen ma kmu dan ingin menyusulmu ampe dy sakit lalu que terpaksa menyuruhmu and ayahmu mnjemputnya tapi dy tak mau ikut tanpa driku and terpaksa que harus ikut k mesir dan mlihat keindhannya,saat berada sungai nil and piramid lalu qta gak lupa ma foto2 dan disela2 aktivitas kulyah u d al-azhar, ayah u ngajak q n adek u kliling al-azhar ampe pda taman d dket al-azhar dsana q brmain dan mlihat keindhannya lalu adek u brkta pada que " apkah mbak gak mo kulyah dsini spt cak rey?'' que hanya bisa tersenyum mndengar prkataan itu krna que tahu que gak da kapasitas unt ksana sdangkan org2 al-azhar adl org trpilih tp adek u mmaksa que n mmberi que semangat '' ayo mbak smangat ,,mbk pzti bsa kulyah d sni spt cak rey '' ktika que ge asyik brmain ma adek u d tmpat itu que mlihat u ge konsultasi ma org yg mngkin gak asing bgi que slama nee yaitu syekh ali jum'ah and syekh toyyib lalu bliau mlihat que dan trsenyum pda que dlam hati que brkata( kpan q bsa mrasakan blajar bersma bliau spt yg rey dpatkan skg?) stelah beberpa blan que n adek u tnggal dsana tibalah q hrus plang k indonesia tp sbelum itu ayah u mnghadiahkan q umroh breng kluarg u ,,and slesai thawaf itu ,adek u mnghilangh entah kmana, smua pda panik trmasuk ibu u lalu yg mncarinya dikau ayah u n que tp qta mncar mncarinya ,,q kliling ge unt mnemukan adek u and trnyata adek u mnarik tngan que n blang pada que klo dia ingn k tmpat itu tp syang q gak bsa ndirian mngaterinn ya q btuh bntuan u n ayah u ,,awalnya ibu gk ngizinin tp dy trus mrengek mnta izin akhir.a ibu u lu2h ,, akhirnya qta mnuju hjar aswat ber-4 dgan pnuh prjuangan ampe bju u sobek and que hrus gendong adek u unt bsa mnciumnya tp akhirnya kau bsa mncium batu yg dri surga lalu stelah itu qta mnuju k ibu u yg tlah mnunggu stelah itu tibalah que n adek q hrus blek k indonesia tp ortu u n u blek k mesir ,,lalu dlam prjlanan itu adek u blang ma que '' mkasih mbak udah nemenin q liburan ma kluarga n mbak pzti bsa kulyah d al-azhar mesir spt cak rey'' que hnya bsa senyum dgn kata2 itu  



Senin, 09 Juni 2014

 Pertemuan Singkatku Bersama Beliau

Di saat hati que lagi sedih karna melihat kebahagiaan teman-teman que untuk rihlah bersama seangkatan 2012 disela-sela itu que bermunajat padaNYA '' berikan que sesuatu yang lebih istimewa sehingga orang lain pun tak bisa memiliki itu  dan berikan kepada sahabat2 que  yang sedang liburan kebahagiaan selalu '' tak harus menunggu lama untuk tercapai hal itu ,, sang pencipta memberi seorang malaikat penghibur hati datang menemui que di dalam bus EKONOMI

Diawal perjumpaan diri que serasa takut rasa karna penampilannya yang sperti preman tapi lama-kelamaan diri que mulai mencair semenjak beliau memperkenalkan putranya yang menempuh study di negeri yang selama ini que impikan dan negeri yang yang akan jadi saksi perjalanan que di dunia ini yaitu mesir dan turkey

Beliau bilang pada que kalau beliau pernah berkunjung kesana menemui putranya yang bernama ahmad reihan yang insya allah tahun depan wisuda di universitas Al_Azhar kairo, awalnya que tak percaya kalau kalau beliau pernah berkunjungke mesir bahkan pernah juga liburan ke turkey tapi setelah mengeluarkan handphone dan memperlihatkan pada que ,,, dengan terkejut dan kaget melihat itu semua lalu tak terasa diri que mengucapkan yang selama ini selalu tergiang dalam fikiran '' this is my dream and my heart has been overthere..''lalu beliau bertanya padaku apakah diriku tentang untuk melanjutkan study disana?? q serentak menjawab ''tidak tapi itu adalah impian sahabat haramain que pak karna untuk kesana diriku tak punya kapasitas yang istimewa beda sama sahabat haramainku '' lalu beliau menasehati que dengan kata2 yang bisa menghiburku dikala harus merelakan untuk tak bisa ikut rihlah '' kau pazti bisa melanjutkan stugy di al-azhar kairo asalkan dirimu semangat and tak pernah putus asa dalam belajar dan biarkanlah al-azhar menunggumu jangan kamu yang menunggu al-azhar '' tapi diriku tak punya kapasitas untuk itu dan hanya menginginkan untuk wisata religi di tempat itu

sebelum berpisah dengan beliau ,beliau  berpesan padaku dan menginginkan putranya kak ahmad reihan itu bertemu dengan diriku untuk mengenal lebih lama lalu que hanya mengamini dan berdoa moga itu terkabul (dalam hati que) karna mendapat seorang yang seperti itu sulit apalagi dizaman sekarang karna jarang2 que mendapatkan hal itu,,

aku bersyukur dengan semua ini karna sang khalik udah menggantinya dengan yang lebih istimewa dan jarang orang mendapatkan ini semua mungkin ini adalah balasan bagiku karna kesabaran que untuk menerimanya

Minggu, 08 Juni 2014

Ibnu Madha'




KRITIK IBNU MADHA’ TERHADAP PARA AHLI NAHWU
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Ushul Nahwu
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. H.Tamim Mulloh, S.S, M. Pd








Disusun oleh :
1.      Maftuhah                      (12310094)
2.      Ulwiyatul Mungarofah (12310095)
3.      Auliya Hasanah            (12310090)


BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA
UIN MALIKI MALANG
2014

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua sehingga masih diberi kesehatan, kenikmatan iman dan islam serta dalam lindungan-Nya. Sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw, yang patut menjadi suri tauladan bagi umat muslim seluruh dunia serta ditunggu syafaatnya kelak di akhirat. 
Dalam untaian kata pengantar ini kami yang diberi tugas pada mata kuliah Ushul Nahwu ingin mengutarakan bahwa kami telah berusaha dalam penyusunan makalah ini. Dan kami sadar masih banyak kekurangan di sana sini, mengutip pribahasa “Tak ada gading yang tak retak”. Alhamdulillah Makalah yang berjudul “kritik Ibnu Madho Terhadap Para Ahli Nahwu” ini telah selesai tepat waktu,besar harapan kami isi dari makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca. Bukan hanya demi menunaikan kewajiban tugas yang diberikan dosen.
Dan tak lupa kami mengucapkan terimakasaih kepada dosen pengampu mata kuliah Ushul Nahwu ustdz Tamim Mulloh, S.S, M.Pd  yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. Yang selalu memberi masukan dan saran dalam pembuatan makalah teman-teman sebelumya demi meningkatkan dan memperbaiki mutu dan kualitas makalah dalam mata kuliah Ushul Nahwu ini. Sehingga harapan kami makalah ini bisa jadi lebih baik dari sebelumnya.
Terakhir kami meminta maaf atas kesalahan yang ada dalam pembuatan makalah yang sangat sederhana ini, sehingga kami berharap kritik maupun saran yang membangun guna perbaikan untuk selanjutnya,  tetapi saya berharap manfaat adanya bagi teman-teman dan khususnya bagi para pembaca makalah ini. Amin.


Malang, 27 Mei 2012

Penulis            



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN    
A.     LATAR BELAKANG .............................................................................................................i
B.      RUMUSAN MASALAH ........................................................................................................i
C.      TUJUAN PEMBAHASAN......................................................................................................i
BAB II PEMBAHASAN
A.     Biografi dan karyanya .........................................................................................................1
B.     Perjalan Akademik...............................................................................................................1
C.     Latar Belakang Kajian Nahwu Ibnu Madha’.......................................................................1
D.     Ideologi Fiqih Ibnu Madha’ Ilmu Nahwu............................................................................3
E.      Kitab-kitab Karangan Ibnu Madha’ ....................................................................................5
F.      Kritik Ibnu Madha’..............................................................................................................6
G.     Tawaran Restrukturisasi Ilmu Nahwu................................................................................14

BAB III PENUTUP
1.      Kesimpulan ..............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

Dalam ilmu nahwu juga terdapat beberapa aliran (mazhab). Ada aliran Kufah, Bashrah, Baghdad, Mesir dan Andalus. Diantara keempat aliran ini, hanya dua aliran saja yaitu Kufa dan Bashrah yang menjadi aliran mayoritas, meski masing-masing memiliki metode dan cara berpikir atau apa yang disebut dengan ushul al-nahwi. Yakni, prinsip-prinsip yang mendasari cara kerja ilmu nahwu dan cabang-cabang yang terkait dengannya. Prinsip yang dimaksud adalah qiyas, ta’lil, ta’wil dan amil. Perbedaan pandangan mengenai prinsip-prinsip ini pada giliran selanjutnya berdampak pada perbedaan pemahaman dan pandangan dalam kaidah bahasa Arab di satu sisi dan perbedaan dalam memahami teks agama di sisi lain.
Kemudian pada abad pertengahan muncullah konsep pembaharuan ilmu nahwu yang dipelopori oleh Ibnu Madha’. Ia memiliki pemikiran yang kontovesional tentang ilmu nahwu, yang sangat menentang keras pendapat para ulama’ nahwu mutaakhirin terutama mengenai prinsip-prinsip dalam ilmu nahwu seperti qiyas, ta’lil, takwil maupun ‘amil. Dan kemudian menciptakan suatu konsep baru yang bertujuan untuk menghilangkan hal-hal fudhul(kelebihan) dalam ilmu nahwu, dan mengajak kepada konsep ilmu nahwu yang lebih sederhana, ringkas serta mudah difahami bagi para pembelajar.
Dalam makalah ini, pemakalah akan menjelaskan tentang Ibnu Madha’ beserta metode dan ijtihadnya. Yang mencakup tentang biografi, karya-karyanya beserta pemikiran-pemikirannya.
a.       Siapakah Ibnu Madha’?
b.      Bagaimana konsep nahwu menurut Ibnu Madha’?

a.       Untuk mengetahui biografi Ibnu Madha’
b.      Untuk mengetahui konsep nahwu menurut Ibnu Madha’
PEMBAHASAN
A.    Biografi Ibnu Madha’dan karyanya
Nama lengkap Ibnu Madha’ adalah Ahmad bin Abdul Rahman bin Muhammad bin Said bin Haris bin Asim Ibnu Madha’, Dia dijuluki Abu Abbas, Abu al-Qasim, dan Abu Ja’far. Akan tetapi, ia lebih dikenal dengan julukan Ibnu Madha’.[1]Dia lahir di Cordova pada tahun 512 M dan meninggal pada tahun 592 M di Isybiliyah. Selain seorang pakar Nahwu, dia juga ahli fiqih dan pernah menjabat menjadi hakim.[2]
Dalam bidang keilmuan, pada abad ke 6 H, ia telah menulis 3 buku yang sangat monumental walaupun pernah terhenti dan muncul kembali pada abad 14 H / 20 M. Tiga buku itu adalah:

. ( 1الرد على النحاة
.( 2المشرق في النحو
.( 3. تنزيه القرآن عما لايليق بالبيان
B.     Perjalanan Akademiknya
Walaupun Ibnu Madha’ dikenal sebagai pembaharu dalam kajian epistemology Ilmu Nahwu, namun hal tersebut tidak membuatnya melupakan dan menafikan ilmu-ilmu yang lain. Selain mempelajari ilmu Nahwu, beliau juga belajar ilmu Fiqih dan ilmu yang berkenaan dengan tata bahasa Arab. Untuk bidang ilmu Fiqih, dia sempat belajar kepada ibnu al-Araby, Bathrujiy, Rosyaathy, dan Abu Muhamad ibn al-Munasif.
C.    Latar Belakang Kajian Ilmu Nahwu Ibn Madha’
Aliran Basroh dengan panglima besarnya imam Sibawaih,telah mengantarkan ilmu Nahwu pada perkembangan yang luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan berkiblatnya para pakar Nahwu padanya. Kitabnya yang sering disebut Alkitab padahal Sibawaih belum sempat memberinya judul dan tak seorang pun yang tahu kapan penyusunannya.
Kitab yang dikarang Sibawaih ini merupakan karya monumental karena pada abad ke 2 di mana Dunia dan Islam pada masa terpuruk, tetapi Sibawaih telah memamerkan kitabnya yang terdiri dari 820 bab. Tidak hanya di daerah Basroh saja, akan tetapi konsep Nahwu yang digagas oleh Imam Sibawaih juga menyebar hingga ke Mesir dan Andalusia, sehingga hampir semua ahli Nahwu dari ke 2 negara itu terpacu kepada Imam Sibawaih.
Sibawaih banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki guru besarnya yaitu Abu ‘Abd ar-Rahman Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi (100-175 H) penggagas ilmu nahwu.[4] yang dalam sejarahnya, dikalahkan oleh Sibawaih. Khalil adalah perintis Sintaksis Bahasa Arab yang konsep-konsep Nahwunya banyak diterapkan oleh Sibawaih dalam kitabnya.
Al-Khalil adalah orang yang membuat istilah-istilah Nahwu seperti mubtada’, khabar, maf’ul bih, fa’il, hal, tamyiz, dan lain sebagainya. Dia juga yang mengistilahkan rafa’, nashab, dan khafd, serta jazm pada I’rab kalimah, dan mengistilahkan harakat mabni dengan dhamah, fathah, kasrah, dan waqaf (sukun).
Dia sangat menguasai logika Aristoteles. Ada dua konsepnya yang sangat dipengaruhi oleh filsafat, yaitu konsep tentang ‘amil dan ma’mul, Ia berusaha menguraikan fenomena-fenomena kebahasaan dengan perspektif filsafat yaitu pemikiran kausalitas (sababiyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang “ada” di muka bumi ini mengharuskan “pengada”. Begitu juga dengan fenomena perubahan akhir kata atau i’rab, mengharuskan ada sesuatu “yang menyebabkan” hal itu terjadi. Maka Khalil menamakan penyebab itu dengan ‘amil.
Dia juga menggagas dasar epistemologi Nahwu yang meliputi sima’, qiyas dan ta’lil dan menghadirkan istilah ta’wil dan pengecualian jika terdapat contoh ucapan yang bertentangan dengan kaidah yang dia tetapkan. Misalnya, Dia menetapkan bahwa hal harus dibentuk dari isim nakirah.dan ketika muncul hal berupa isim ma’rifat dia melakukan ta’wil atau pengalihan asumsi dari yang tampak.
Namun pada abad ke-6 M. Munculah seorang pakar Nahwu yaitu Ibnu Mada yang menggoyahkan mazhab itu dan dia menyusun konsep Nahwu yang lebih praktis dengan menghapus beberapa bagian bab dan teori yang dikira arelevansi dengan Nahwu yang mempersulit pelajar untuk mempelajari ilmu Nahwu dan mengembalikan Nahwu pada pondasi awalnya dengan maksud mempermudah dan memperingkas agar mudah dipahami. Dia mengungkap bahwa konsep Nahwu yang sudah tersebar dan tertumpu pada Imam Sibawaih telah memperumit kajian Nahwu sehingga ia membuat konsep baru yang merobohkan pondasi Imam Sibawaih lewat 3 bukunya yang sudah dipaparkan.
Dia adalah ilmuan Bani Abasiyah dari dinasti Muwahidun yang dipelipori oleh Ibnu Tumart. Dan kenyataannya, sejak pertama berdiri, dinasti tersebut telah mengobarkan revolusi. Maka apabila kita melihat Yusuf membakar kitab madzhab-madzhab yang empat, artinya ia ingin mengembalikan fiqih Masyriq kepada tempat asalnya. Maka begitupun Ibnu Mada. Begitulah tutur Dhaif tentang kajian Nahu menurut Ibnu Madha dalam karangannya yang mentahqiq kitab karya Ibnu Mada’.[3]
D.    Ideologi fiqh Ibnu Madha’ Ilmu Nahwu
ideologi dalam arti netral, yaitu keseluruhansistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.[4]Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi atau aliran al Dhohiri suatu madzhab fiqih yang dianut oleh Ibnu Madha. Yang dimaksud aliran aldhohiri adalah aliran yang menolak cabang-cabang pemikiran dari suatu persoalan (furu’) dan lebih mengedepankan sumber hukum ushul (al Quran dan Hadits) dan hanya menerapkan aspek tersurat (dhahir) dalam al Quran dan al Hadits sebagai sumber hukum dan menolak segala macam ta’wil.[5]
Madzhab menurut bahasa ialah maslak, thariqah dan sabil. Sedangkan menurut istilah ialah pendapat yang diambil oleh seorang imam dan para imam dalam masalah yang terkait dengan hukum-hukum ijtihadiyah.[6]Berbagai aliran fiqih nyatanya mampu memberi corak baru dalam kajian nahwu di Andalusia, namun diantara aliran fiqih tersebut, aliran fiqih al Dhohiri mendapat perhatian besar dari kalangan fuqoha dan lughowiyyin serta miliki pengaruh yang sangat besar dalam kajian nahwu di Andalusia.
Aliran fiqih al Dhohiri menolak ta’wildan hanya bersumber pada teks tersurat dalam al Quran sebagai dalil penetapan hukum. Di antara ahli fiqih yang menganut aliran alDhohiri adalah Ibnu Hazm yang tertuang dalam bukunya al Ihkam fiushul al Ahkam[7]. Satu setengah abad kemudian, Ibnu Madha berhasil mengadaptasikan madzhab fiqih al Dhahiri dalam kajian nahwu melalui karya monemental berjudul al Rad ala al Nuhat. Sebagai bentuk gugatan Ibnu Madha terhadap pandangan-pandangannya nahwu yang dikembangkan para pendahulunya. Sejarah menunjukkan bahwa nahwu sebelum masa Ibnu Madha diklaim telah terpengaruh oleh filsafat Yunani. Menarik dicatat mengenai awal keterpengaruhan nahwu terhadap filsafat Yunani. Menurut Abd al Karim Muhammad al As’ad nahwu mulai bersentuhan dengan filsafat Yunani ditandai dengan sosok ‘Abdullah bin Abi Ishaq al Hadrami (w. 117 H), orang pertama yang dianggap meletakkan dasar-dasar konsepsional nahwu dan mengembangkan pemikiran mengenai illat dalam kajian nahwu. Sejak saat itulah, nahwu mulai berkembang dalam nuansa filosofis. Pemikiran tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh Khalil bin Ahmad al Farahidi (w. 175 H), seorang tokoh besar madrasah Basrah. Khalil dipandang sebagai jembatan pembuka masuknya pengaruh filsafat Yunani dalam kajian nahwu.[8] Akibat dari keterpengaruhan tersebut, para ahli nahwu memahami tiap kata dalam suatu kalimat sebagai faktor dari ‘amil yang implikasinya terlihat pada persoalan i’rab mahalli dan taqdiri. Dengan teori ini, perubahan bunyi akhir suatu kata dalam kalimat mengalami pergeseran dari i’rab rafa’, nasab jarr dan jazm. Spekulasi ‘amil yang mempengaruhii’rab suatu kata kerap kali menjadi perdebatan di antara ulama’ nahwu berikut narasi filosofis yang menyertainya seperti permasalahan ‘amil dalam maf’ul bih. Menurut Basrah fi’il yang menjadi ‘amilbagi fa’il dan maf’ul bih, sedangkan mayoritas ulama’ Kufah berpendapat bahwa fi’il dan fa’il merupakan amil bagi maf’ul bih, namun sebagian kecil ulama Kufah berpendapat bahwa hanya fa’il yang menjadi ‘amilbagi maf’ul.[9] Hal ini yang mendorong Ibnu Madha untuk mengkritik dan menggugat nahwu yang telah lebih dahulu mapan untuk diarahkan kepada tujuan praktis yaitu guna memfasilitasi para peserta didik bahasa Arab agar dapat membaca dan berkomunikasi dalam bahasa Arab secara baik dan benar sesuai kaidah yang ada. Menarik dicermati bahwa Ibnu Madha menggugat nahwu dengan menggunakan dasar pemikiran aliran fiqih dhahiri. Berdasarkan dengan metode penalaran dalam aliran dhahiri bahwa metode pengambilan hukum berpegang pada lahiriah teks, maka kaidah nahwu seharusnya sesuai teks yang ada atau yang biasa dipakai orang Arab dan bukan nuansa gramatika bahasa Arab yang sarat dengan muatan filsafat. Melalui bukunya ar Rad ala al Nuhat, Ibnu Madha menyatakan: “Tujuan saya dalam buku ini adalah menghapuskan apa yang tidak diperlukan oleh ahli nahwu, dan saya tegaskan bahwa mereka telah bersepakat dalam kesalahan”.[10] Adapun gugatan-gugatan Ibnu Madha tentang nahwu yang tertuang dalam bukunya arRad ala al Nuhat sebagai bentuk kritiknya terhadap nahwu yang dikembangkan para pendahulunya adalah penghapusan (1) teori ‘amil, (2) ’illat kedua dan ketiga, (3) penggunaan qiyas dalam nahwu, dan (4) latihan (tamarin) nahwu yang tidak praktis karena menyebabkan nahwu menjadi rumit dan sulit dipelajari.
Dalam hal ini, Syauqi Dhaif menyatakan bahwa pengaruh fiqih al Dhahiri jelas telihat dalam buku al Rad ala al Nuhat sebagai wujud penolakan Ibnu Madha terhadap para ahli nahwu masyriq (Bashrah dan Kufah) yang terlalu filosofis sehingga terkesan tidak realistis dan sulit difahami.[11] Selain ar Rad ala al Nuhat, Ibnu Madha juga menulis buku al Masyriq fi al Nahwi, Tanziyah al Quran dan ‘AmmaLa Yaliqu bi al Bayan. Diperkirakan bahwa al Masyriq fi al Nahwi berisi tentang pencerahan nahwu dari berbagai kerumitan dan perdebatan yang signifikan. Sayangnya, dua karya terakhir hingga sekarang tidak ditemukan, sehingga formulasi konkret pembaharuan nahwunya tidak dapat dikaji lebih mendalam.[12]
E.     Kitab-kitab karangan Ibnu Madha’
1.      Kitab Ar-Radd ala an-Nuhat
Kitab ini berisi tentang metode berfikir dan ijtihad Ibnu Madha’ dalam ilmu nahwu. Buku ini pertama kali ditemukan dalam bentuk manuskrip di Perpustakaan Taimur nomor 375, yang kemudian diedit oleh Dr. Syauqi Dhoif. Sekarang, karya Ibnu Madha’ yang satu ini telah dipublikasikan dan dapat dibaca secara luas. [13]
2.      Kitab Masyriq ‘ala An Nahwi
Merupakan kitab kelanjutan dari kitab pertamanya Ar-Radd ala an-Nuhat. Yaitu, berisi tentang bantahan Ibnu Madha’ terhadap teori-teori para ahli nahwu di wilayah Islam wilayah Timur. Buku ini dalam beberapa literatur sejarah juga disebut dengan al-Masyriq fi Ishlah al-Manthiq. Dan buku ini tidak pernah sampai kepada generasi kita.[14]
3.      Kitab Tanzih al-Qur’an amma la Yaliqu bi al-Bayan
Kitab ini tidak diketahui isinya secara pasti. Bisa jadi, ia berisi tentang fiqh atau mengenai ilmu bahasa Arab. Hal ini karena buku tersebut tidak sampai ke tangan generasi setelah Ibnu Madha’. Jika melihat judul bukunya, penulis menduga buku tersebut berisi seputar pemahaman Ibnu Madha’ mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang terkait istidlal dan istimbath hukum-hukum. Ia dapat dipastikan, melalui buku ini, menepis model pemahaman dan pemaknaan terhadap ayat yang semestinya tidak perlu atau bahkan tidak ada dalam teks (nash) secara lahiriyah. Hal ini karena Ibnu Madha’ menganut mazhab Zhahiriyah yang hanya mengakui makna luar teks.[15]
Qiyas ialah usaha untuk membawa sesuatu (menyamakan) yang belum berlaku kepada hukum yang sudah ada.
Sedangkan qiyas menurut Ibnu Anbari qiyas dalam kitabnya Lam’u al-Adillah yakni membawa perkara cabang pada perkara asal dalam illatnya, dan memberlakukan hukum asal pada hukum cabang. [16]
Pendapat Ibnu madha’ tentang qiyas ialah adanya qiyas itu harus berkaitan dengan adanya teks. Maka ia menerima dan membenarkan adanya prinsip qiyas selama ada bukti teks, dan menolaknya jika tidak ada bukti teks yang menguatkannya. [17]
Ibnu Madha’ menolak terhadap adanya prinsip qiyas dalam ilmu nahwu, ia tidak sepakat dengan pendapat para ulama’ nahwu atas orang arab. Dengan jelas Ibnu Madha’ mengatakan:
Orang Arab adalah umat yang cerdas. Bagaimana mungkin mereka menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, dan menyamakan hukum sesuatu itu pada sesuatu yang lain, sementara sebab hukum asal tidak ditemukan dalam cabang? Jika di antara para nuhat ada yang melakukan seperti itu, berarti ia bodoh dan tidak bisa diterima. Mengapa mereka menisbatkan sesuatu yang tidak diketahui oleh sebagian mereka kepada orang Arab? Ini semua karena mereka tidak meng-qiyas-kan sesuatu dan memberlakukan hukumnya kecuali apabila sebab hukum asal ditemukan pada cabang”. [18]
Penolak para pengikut madzhab dzahiriyah terhadap qiyas, sebab pada hakikatnya qiyas itu terdiri dari ashl, far’i(cabang), illat serta hukum. Jadi memberlakukan adanya illat didalamnya. Seperti halnya kemu’roban fiil mudhore’ itu diqiyaskan dengan kemu’roban isim. Yang mana isim itu ashl, sedangkan fiil itu far’i. Dan fiil itu diqiyaskan dengan isim karena memiliki 2 ‘illat. Illat pertama dari segi keumumannya, kemudian dapat dikhususkan. Seperti halnya lafadz رجل  (umum/tidak ditentukan) kemudian dikhususkan menjadi الرجل, begitu pula fiil mudhore' pada lafadz يذهب  bermakna umum yakni pekerjaan yang dilakukan sekarang ataupun masa yang akan datang, kemudian dikhususkan menjadi سوف يذهب  maka fiil mudhore’ yang menunjukkan zaman yang akan datang. Illat kedua bahwa lam ibtida’ itu bisa masuk pada kalimat fiil sebagaimana bisa masuk juga pada kalimat isim. Seperti contoh:
إن زيدا ليقوم danلقائمإن زيد
   Jadi kedua ‘illat ini diberlakukan pada fiil mudhore’ yang dihukumi mu’rob sebagaimana hukum isim. Dan pengqiyasan seperti ini ditolak oleh Ibnu Madha’.[19]
   Secara etimologi, ta’wil berarti merenungkan, mengira-ngira dan menafsirkan. Sedangkan secara terminologi, ta’wil berarti menggeser zhahirnya teks (lafazh) dari posisinya yang otentik menuju bukti (makna) yang dibutuhkan seolah-oleh makna itu meninggalkan zhahir dari teks. Atau dengan kata lain, ta’wil adalah menafsirkan ucapan yang maknanya berbeda-beda dengan memberikan penjelasan yang diambil dari luar teks.[20]
a.       Pembuangan(al hadzf)
Seperti contoh: والله لافعلت و أصله : أقسم بالله
Seperti contoh: وأوتيت من كلّ شيء – أي: شيئا
b.    Penyimpanan(istitar)
-          Adanya dhomir yang tersimpan baik secara wajib seperti: أوافق - نفتبطmaupun jawazseperti: محمد قام
c.       Sighot masdar
Seperti:  صيامكم خير لكمditakwil وأن تصوموا خير لكم
        Ada dua point penting terkait dengan mudhmar dan mahzhuf, yang harus dicermati secara kritis. Pertama, yang mudhmar berarti sesuatu yang harus dipenuhi, sementara yang mahzhuf berarti sesuatu yang tidak diperlukan. Kedua, yang mudhmar adalah isim, sementara yang mahzhuf adalah fi’il. Hazhaf (pembuangan) hanya terjadi pada fi’il dan jumlah, dan tidak berlaku pada isim. Kedua point itu tidak memberikan garis pembedaan yang jelas dan cermat. Bahkan cenderung kontradikstif dan ambigu. Menurut Ibnu Madha’, satu-satunya yang dapat membedakan kedua hal itu tidak lain dikembalikan kepada si penutur (mutakallim) bahasa itu sendiri.[22]
        Ibnu Madha’ berpendapat, ada tiga jenis mahzhufat. Yaitu, pertama kata dibuang karena lawan bicara (orang kedua) diindikasikan telah mengetahui. Misalnya, ketika dikatakan zaidan yang berarti a’thi zaidan. Hal ini terjadi karena lawan bicara dianggap telah mengetahui ”perintah untuk memberi sesuatu” kepada si Zaid, sehingga cukup dikatakan zaidan. Kedua, kata itu dibuang karena memang tidak dibutuhkan dan bahkan jika masih tetap ditampakkan maka akan merusak ucapan, seperti azaidan dharabtahu. Ketiga, kata itu dibuang karena jika tetap ditampakkan maka disinyalir dapat merubah ucapan, seperti ya abdallah. Jika ucapan ini ditampakkan menjadi ad’u abdallah maka strukturnya menjadi berubah. Yaitu, dari bentuk nida’ (panggilan) menjadi bentuk khabariyah (berita).[23]
         Atas dasar itu, Ibnu Madha’ hanya menerima konsep mahzhuf (pembuangan) manakala pembuangan tersebut telah diketahui oleh lawan bicara (mukhathab). Sejauh lawan bicara (mukhathab) mengerti atau mengetahui hazhaf (pembuangan) kata/kalimat yang dikehendaki oleh si mutakallim (penutur), maka sejauh itu boleh dilakukan pembuangan (hazhaf). Tetapi jika tidak mengetahui, maka tidak diperbolehkan si mutakallim (penutur)melakukan pembuangan. Karena, hanya akan membawa teks kepada ke-aib-an dan perubahan makna.
         Penolakan Ibnu Madha’ terhadap fenomena ta’wil dalam nahwu juga tercermin dari sikapnya terhadap konsep istitar/idhmar (penyembunyian). Di sini, dapat dikemukakan contoh: زيد ضارب عمرا . Para nuhat biasanya menganggap bahwa di dalam contoh tersebut ada dhamir (kata ganti) yang disembunyikan, tepatnya pada kata dharibun. Kata dharib menunjukkan arti sebagai pelaku (fa’il) yang tidak terang-terangan, sementara kata zaid adalah nama dari si pelaku tersebut. Anggapan seperti ini adalah salah dan tidak dapat diterima oleh akal manusia. Munculnya pikiran seperti itu dikarenakan para nuhat telah keliru dalam memahami dalalah fi’il atas dalalah fa’il: antara dalalah lafzhiyah dan dalalah luzumiyah, sehingga mereka meyakini bahwa di dalam fi’il (kata kerja) pasti tersimpan fa’il (pelaku).[24]
         Dalam pendapatnya Ibnu Madha’ membandingkan masalah-masalah fiqih dengan masalah-masalah nahwu. Dikatakan bahwa nahwu itu tidak butuh terhadap adanya illatberdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh teks, sebagaimana fiqih tidak butuh adanya illat berdasarkan apa yang telah diharamkan oleh teks. [25]
         Dan hal yang harus dihilangkan dalam Ilmu Nahwu ialah adanya Illat tsawani dan tsawalits, seperti halnya contoh pertanyaan seseorang tentang lafadz زيد dalam ucapanقام زيد  mengapa lafadz zaid itu dibaca rofa’? kemudian dijawab: karena zaid berkedudukan sebagai fa’il. Dan setiap fail itu dibaca rofa’. Kemudian bertanya lagi. Ketika Ibnu Madha’ ditanya mengapa kata zaid dalam jumlah qama zaidun harus dibaca rafa’, ia menjawab: karena kata itu berkedudukan menjadi fa’il dan fa’il itu harus dibaca rafa’. Inilah yang disebut dengan alasan pertama (illah ula). Jika kemudian ditanya lagi kenapa fa’il itu harus dibaca rafa’, maka menurut Ibnu Madha’ pertanyaan itu tidak patut dijawab. Jawaban yang pas tidak lain adalah karena begitulah orang Arab mengatakan. Pandangan seperti ini tentunya jauh berbeda dengan pandangan mayoritas nuhat. Jika pertanyaan serupa diajukan kepada nuhat yang lain, maka mereka pasti memberikan jawaban: kata zaid dibaca rafa’ karena fa’il dan fa’il itu harus rafa’ (illah ula); kenapa harus rafa’? karena untuk membedakan antara fa’il dengan maf’ul (illah tsaniyah); kenapa fa’il tidak dibaca nashab saja dan maf’ul dirafakan? Karena fa’il itu sedikit, sedangkan maf’ul itu bisa banyak (illah tsalitsah). [26]
         Menurutnya tidak ada bedanya dengan seseorang yang mengetahui tentang diharamkannya sesuatu berdasarkan nash. Hal ini tidak butuh pengeluaran illat untuk memindahkan suatu hukum itu atas hukum sesuatu yang lain. Maka pertanyaan mengapa itu diharamkan? Maka bagi seorang faqih tidak harus menjawabnya.
         Bagi Ibnu Madha’, illahtsaniyah dan seterusnya tidak diperlukan ketika seseorang memakai bahasa Arab karena hanya menimbulkan perdebatan yang sia-sia. Ibnu Madha’ menyatakan:
         ”Hal yang harus dihilangkan dalam nahwu adalah perdebatan yang tidak patut diangkat seperti perdebatan para nuhat mengenai illah rafaknya fa’il , nashabnya maf’ul bih dan seluruh perdebatan mereka mengenai illah tsawani yang tidak patut dikemukakan”.[27]
         Menurut pendapatnya illat ula dan illat tsawani. Illah ula merupakan alasan yang dengannya seseorang dapat memahami perkataan atau ucapan orang Arab. Illah ini dapat dikategorikan sebagai dasar untuk menetapkan aturan main (struktur dasar) yang dipakai dalam bahasa orang Arab. Sementara itu, illahtsawani menurut Ibnu Madha’ tidak diperlukan. [28]
         Dan jika para ulama ahli nahwu melakukan hal seperti itu maka mereka bodoh, dan pendapatnya tidak dapat diterima. Sehingga mereka menganggap orang arab adalah umat yang bodoh.
Amil adalah kata yang mempengaruhi harokat akhir kata, apakah dibaca rofa, nasab, khofad atau jazm.
           Amil dalam ilmu nahwu bisa digolongkan sebagai pilar utama. Biasanya, dikenal ada dua jenis amil, yaitu lafzhi dan ma’nawi. Amil lafzhi berbentuk lafazh secara nyata, sedangkan amil ma’nawi biasanya tidak berwujud lafazh dan tidak memiliki pengaruh secara nyata terhadap keberadaan kata yang lain.
           Di samping itu, para nuhat juga memandang adanya dua jenis amil. Yaitu, amil yang memiliki pengaruh secara nyata berupa harakat atau syakal dan atau huruf yang terdapat di akhir kalimat. Sedangkan yang kedua adalah amil yang kehadirannya bersifat tidak nyata karena alasan keserupaan atau kedekatan. Ibnu Madha’ menolak jenis amil yang pertama. Menurutnya, yang paling berperan dalam merubah maksud ucapan tidak lain adalah si penutur (mutakallim) itu sendiri, bukan amil. Hal ini karena amil itu mengisyaratkan adanya waktu saat melakukan sesuatu dan mestinya si amil itu melakukannya dengan kehendak atau secara alami.[29]
           Sebagaimana dalam kitabnya Ar-ra’dhu ‘ala an-Nuhat bahwa amil dalam ilmu nahwu itu ialah si mutakallim sendiri. Ia hanya menerima satu amil saja, dan menolak adanya amil lain (amil cabangan).
           Amil menurut Ibnu Jinni dan Ibnu Madha’ itu adalah si mutakallim sendiri. Mereka tidak sependapat dengan para ulama’ ahli nahwu tentang adanya ‘amil lafdziyah dan ‘amil maknawiyah.
Ibnu Madha’ berkata: “bahwa suatu lafadz dirofa’kan dan dinashobkan si mutakallim, karena sebagaimana mengikuti ucapan orang arab”. Jadi mutakallim ialah orang yang merofa’kan dan menashobkan. Dan pendapat ini didasarikan pada kalam orang arab. Dan mutakallim melakukan hal seperti itu karena mengikuti sebagaimana yang dilakukan oleh orang arab dan kebiasaan mereka dalam mengucapkannya. Maka jika isim itu dibaca rofa’ atau dibaca nashob, memang beginilah ucapan si mutakallim, dan beginilah pula kalam orang arab.
Adapun tujuan Ibnu Madha’ dalam pendapat ini ialah “untuk menghilangkan sesuatu yang menyulitkan dalam pembelajaran ilmu nahwu dan sesuatu yang tidak perlu untuk dibahas”. Beliau menolak pendapat terhadap amil, yakni baik berupa mail lafdziyah maupun amil maknawiyah, dan baik maukmulnya itu disebutkan atau disimpan dan dibuang. Adapun amil yang dibuang itu adakalanya karena si mukhottob sudah mengerti sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama ahli nahwu. Seperti: من جاء؟ kemudian dijawab: زيد. Mereka mengira-ngirakan jawaban aslinya yakni: جاء زيد.
Ibnu Madha’ memilih tentang penjelasan dhamir-dhamir yang tersimpan, seperti: زيد قام  dari lafadz fiil “قام” yakni fiil madhi yang terdapat dhamir yang disimpan didalamnya. Namun beliau mengingkari terhadap adanya dhamir dalam lafadz”قائم” dalam contoh زيد قائم bahwa lafadz ini tidak ada dhamir yang tersimpan, tetapi memang lafadz tersebut sudah sempurna. Sebagaimana dalam fiil-fill mudhore’: أقوم – تقوم – نقوم. Adapun dhamir-dhamir tasniyah dan jama’ dalam contoh: قاما – قاموا – قمن  bahwa menurut Ibnu Madha’ itu bukanlah dhamir atau fail tetapi hanyalah suatu tanda atau isyarat. [30]
G.    Tawaran Restrukturisasi Ilmu Nahwu
           Disamping melancarkan kritik, Ibnu Madha’ juga menawarkan model alternatif ilmu nahwu, terutama dalam soal sistem penyusunannya sehingga ilmu nahwu menjadi mudah dipelajari. Pentaan kembali ini diperlukan karena selama ini banyak terjadi tumpang tindih antara bab satu dengan lain, atau kekurangatepatan dalam menyusun bab-babnya. Misalnya saja, dalam kasusu fi’il mudhari’ yang bertemu dengan nun taukid, yang selama ini dimasukkan ke dalam bab atau kategori fi’il mabni ia dijadikan satu ke dalam akelompok fi’il yang manshub agar ia menjadi satu bahasan dengan fi’il mudhari’ yang didahului oleh a-Nawashib (yang menasabkan). Begitu pula dalam kasusu fi’il mudhari’ yang bertemu dengan nun jama’ niswah (nun tanda plural mu’annats), mestinya dimasukkan ke dalam bahasan fi’il mudhari’ yang mabni majzum. Menurut Ibnu Madha’, tidak ada perlunya menyebut fi’il mudhari’ dalam kasus tersebut dengan sebutan “majzum” di satu saat,dan sebutan “mabni” pada saat yang lain.
           Dengan cara sistematika penyusunan baru ini, menurut Ibnu Madha’ dapat mengefektifkan dana membuang beberapa pasal atau bab dalam nahwu.semisal bab tentang “Nawâsikh al-Mubtada’ wa al-Khabar”, sebab bab-bab tersebut dibangun atas konsep amil. Begitu pula dalam kaitannya dengan bab “kâna”, pembahasan soal ini haruslah disatukan dengan pembahasan fi’il lain pada umumnya. Begitu pula terkait dengan masalah isim yang yang tidak ditanwin, pembahasan soal ini disatukan dengan pembahasan “isim yang tidak menerima tanwin atau ghairu munsharif”. Juga dalam pembahasan soal huruf “ la al-nafiyah”, tentan munada seharusnya pembahasannya disatukan saja.[31]
 



 











 


BAB III
PENUTUP

 

Ibnu madha’ ialah ahmad bin abdurrrahman bin muhammad bin madha’.Ibnu madha’ adalah pelopor gerakan liberalisasi(pembaharuan) nahwu. Dia hidup di Andalusia yang mana kedudukannya dan kemampuannya dalam segi ilmu, sastra dan seni itu sangat dikagumi oleh orang-orang Andalusia. Dia hidup pada masa daulah muwahhidun yang berideologi dzahiriyah. Daulah ini sangat menolak keras terhadap adanya hukum fiqih yang selain berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits dan mengembalikan dan memutuskan segala hukum pada asalnya, sehingga pemikiran dalam ilmu fiqih ini juga mempengaruhi pemikiran konsep nahwu yang dipelopori oleh Ibnu Madha’, yang mana beliau mengembalikan dan membuang segala hal yang telah disepakati oleh para ulama mutaakhirin dan sesuatu yang dianggap tidak dibutuhkan dalam ilmu nahwu sehingga mempersulit para pembelajar. Beliau menciptakan suatu konsep nahwu yang hanya didasarkan pada bukti teks atau langsung dari ucapan orang arab (sima’i) yang lebih ringka, sederhana serta mudah difahami. Jadi beliau menentang terhadap prinsip-prinsip ilmu nahwu sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama ahli nahwu mutaakhirin seperti halnya
1 . Meniadakan teori Qiyas
 2. Menghilangkan ilat tsawani dan tsawalist
 3. Membuang teori amil.
 4. Meniadakan takwil
            Demikianlah intisari dari upaya pembaharuan ilmu nahwu secara garis besar yang ditawarkan oleh Ibnu Madaha’al-Qurthubi (dari Cordoba). Yang tentu saja masih ada beberapa bagian yang belum tercover dalam tulisan ini, namun demikian apa yang termuat dalam penjelasan di atas dianggap telah merepresentasikan upaya kritik dan pembaharuan ilmu nahwu yang diinginkan oleh Ibnu Madha. Secara keseluruhan.



DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Farhun, al-Dibaj al-Mazhab, Kairo: al-Sa’adah, t.t.
Al-Suyuti, Baghyat al-Wi’ah,Kairo: al-Sa’adah, t.t.
Dhoif, Syauqi. 1986. Taisir An Nahwi At Ta’limy Qadiman wa Haditsan ma’a Nahji Tajdiidihi. Kairo: Dar Al-Ma’arif.
Hewitt, Martin. 1992. Welfare, ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare state, Maryland: Harvester Wheatsheaf.
Dhaoif, Syauqi. 1986. Tajdid An Nahwi. Kairo: Dar Al Maarif.
Hasan, Tamam. 1990. Manahij Al Bahs fii Al Lughoh. Kairo: Maktabah Anjalu Mesir
Mubarok, Mazan. 1981. An Nahwu Al Araby. Dar Al Fikri
Muhammad ‘id.1989. Ushul An Nahwi AlAraby fii nadzri An Nuhat wa ra’yi Ibnu Madha’wa
dlau’i ‘ilmy Al Lughoh Al Hadits. Kairo: Ilmu Al Kutub
Ibnu Madha’, 1947. Al-Radd ’ala al-Nuhat, diedit oleh Dr. Syauqi Dloif. Kairo: Dar al-Fikr
  al-Araby.
Dhoif, Syauqi. 1968. Al Madaris An Nahwiyah. Kairo: Darul Ma’arif
Al Yasiri, ‘Ali Muzhir . 2003. Al-Fikr al-Nahw ‘inda al ‘Arb Usulu wa Manahijuhu. Beirut: al Dar al-Arabiyyah Li al Maushu’at.
Sarwat, Ahmad,2011, IlmuFiqih, Jakarta: DU Publishing.
Khalifah, Abd al Karim, 1986. TaysirBaina al Qadhimwa al Hadits. Oman: MansyuratMujmaal Lughoh al Arabiyah al Urdiyah.
Al As’ad, Abdul Karim Muhammad.1992. Al Wasith fi Tarikh al Nahwi al Arabi, Al Riyadh: Darl al Syawaf.

Al Thawil, Sayyid Razzaq.1985. Al Khilafbaina al Nahwiyin: Dirasah, Tahlil, waTaqwim, Makkah al Mukarramah: Maktabah al Fishliyah Al Yasiri, ‘Ali Muzhir,2003







[1] Ibnu Farhun, al-Dibaj al-Mazhab, (Kairo: al-Sa’adah, t.t), h.47
[2] Al-Suyuti, Baghyat al-Wi’ah,((Kairo: al-Sa’adah, t.t), h. 139
[4]Hewitt, Martin,Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State, Maryland: Harvester Wheatsheaf,1992), Hal.1
[5]Al Yasiri, ‘Ali Muzhir,Al-Fikr al-Nahw ‘inda al ‘Arb Usulu wa Manahijuhu, (Beirut: al Dar al-Arabiyyah Li al Maushu’at,2003), hal387-388.
[6]Sarwat, Ahmad,IlmuFiqih, (Jakarta: DU Publishing, 2011).
[7]Khalifah, Abd al Karim, TaysirBaina al Qadhimwa al Hadits. (Oman: MansyuratMujma al Lughoh al Arabiyah al Urdiyah,1986). Hal.39
[8]Al As’ad, Abdul Karim Muhammad, Al Wasith fi Tarikh al Nahwial Arabi,(Al Riyadh: Darl al Syawaf. 1992).hal 21-22.
[9]Al Thawil, Sayyid Razzaq.1985. Al Khilafbaina al Nahwiyin: Dirasah, Tahlil, waTaqwim,(Makkah al Mukarramah: Maktabah al Fishliyah Al Yasiri, ‘Ali Muzhir,2003). Hal:85.
[10]Madha, Ibnu. Al Rad ‘ala al Nuhat, (Al Qahira: Dar al Ma’arif, 1988). Hal:58
[11] Ibid, hal 19-20.
[12]Jurnal inayatur Rasyidah Ideologi Madzhab Fiqih dan social politik dalam Kaidah Nahwu (ibnu madha’ dalam ar Rad ala al Nuhat).
[13]Muhammad ‘Id. Ushul Nahwi Al ‘araby fi Nadzri an-Nuhat wa Ra’yi Ibnu Madha’. 1989. Hal: 39
[14]Ibid. Hal: 40
[15]Ibid. Hal: 42
[16]Ibid.  Hal: 68
[17]Ibid. Hal:84
[18]Mazan Mubarok. An Nahwu Al Araby. 1981. Hal: 154-155
[19]Ibnu Madha’.Al-Radd ’ala al-Nuhat, diedit oleh Dr. Syauqi Dloif.(Al-Qahiro, Dar Al-ma’arif). Hal: 38-39.
[20]Muhammad ‘Id. Ushul Nahwi Al ‘araby fi Nadzri an-Nuhat wa Ra’yi Ibnu Madha’. 1989. Hal: 155
[21]Ibid. Hal: 163
[22]Ibid. Hal: 102
[23]Ibid. Hal: 88
[24]Ibid. Hal: 103-105
[25]Ibid.Hal:36                                                                               
[26]Ibid. Hal: 36-37                                                                       
[27]Muhammad ‘Id. Ushul Nahwi Al ‘araby fi Nadzri an-Nuhat wa Ra’yi Ibnu Madha’. 1989. Hal: 164
[28]Ibid. Hal:151
[29]Ibid, Hal: 87
[30]Syauqi Dhoif. Tajdid An Nahwi. 1986. Hal: 18